Friday, July 27, 2012

kumpulan cerpen bahasa indonesia

Anak Pemakan Lumpur

Kubangan lumpur itu masih saja menggenang. Asap tebal berupa campuran kadmium dan timbal begitu nampak di tengah sana. Masker yang baru saja kubeli tadi sudah kupakai. Entah, semenjak ada pengumuman tadi pagi mengenai kepergian beberapa Jurnalis ke daerah ini, aku sungguh bersikeras untuk ikut serta didalamnya. Ternyata melihat langsung keadaan disini sungguh membuatku tercengang. Keadaannya sangat memprihatinkan. Televisi di Indonesia seharusnya membuat topik ini untuk diangkat dan diperbincangkan, karena ini merupakan masalah bersama. Namun, ketika peringatan satu tahunan atau adanya letusan baru,mereka baru memberikan info mengenai kejadian ini.


       Aku masih berdiri di atas tanggul Lumpur Lapindo, tepatnya Desa Siring, Porong. Kamera yang sejak tadi tergantung dileher telah berpindah ke tanganku dan kupotret beberapa lokasi yang memang kuanggap penting untuk dilaporkan di media. Kebetulan hanya ada beberapa kawan media yang meliput disini. Sebentar lagi, akan ada aksi kreatifitas dari anak – anak sanggar Al – Faz yang akan menampilan kemampuan mereka untuk “mendidik” pemerintah. Ini yang sangat membuatku bersemangat untuk datang kesini. Melihat aksi anak – anak untuk memberikan ceramah ala anak usia SD. Mungkin saja itu akan didengar oleh mereka yang harus bertanggung jawab.

       Baru saja kuberanjak dari tanggul, suara derap kaki anak – anak itu sudah terdengar. Baju biru yang mereka gunakan terlihat serempak dengan wajah yang dilumuri lumpur, mereka seperti ingin mengucapkan : Saya korban Lapindo dan saya TIDAK BANGGA sama sekali. Mereka membawa sebuah nampan dengan bunga tujuh rupa. Ternyata mereka melakukan ruwatan, sebuah tradisi membuang sial. Anak – anak itu memasang wajah sedih dengan beberapa tetesan air mata yang keluar secara otomatis. Mereka membiarkan air mata itu turun secara tulus di pipi mereka yang berlumuran lumpur.

       Tiba – tiba, seorang anak wanita dengan mata memerah karena menangis mulai membacakan sebuah puisi dengan sangat keras dan lantang. Penghayatannya sangat tak berlebihan, sungguh menyentuh. Ini benar suara hati mereka, Tuhan. Apa engkau tega melihat wajah mereka yang mengharap ? Wajah – wajah yang seharusnya menjadi bagian dari tombak perjuangan Negara Indonesia, tapi ? Ah, mereka terlalu awam untuk mendapatkan tamparan kehidupan yang keras nan kejam ini.
Lumpur Lapindo
Mengapa belum kunjung selesai?
Tiada harapan dihati nurani
Hancur rumah
Hilang harta benda
Menangis tiada henti dihati
Derita hati, derita badan
Oh Lumpur Lapindo
Kamu kejam
Lumpur Lapindo jangan engkau teruskan
Meluapmu di desa kami
Desa kelahiranku, desa tempat tinggalku
Desa yang indah bagiku dan teman-temanku
Lumpur  Lapindo, kemurkahanmu
Sudah enam tahun mengguncang
Di Sidoarjo, di desa Renokenongo
Mari kita berdo’a supaya desa kami selamat
Amin..
       Anak wanita itu mengucapkan kata Aamin sambil penuh rintihan dan harapan. Tuhan, lihat anak itu.. anak yang harusnya masih tersenyum di bangku sekolahnya, namun dia mendapatkan cobaan ini, anak yang seharusnya bermain dengan teman sebayanya di desa, namun mereka malah mendapatkan ini ? Hampir semua orang disana mengucapkan kata Amin bersama. Dengan segala harapan yang memang ada di benak masing – masing. Anak itu lalu keluar dari kerumunan sambil menyeka air mata yang tetap mengucur dari kedua pelupuk matanya yang memang sudah agak membengkak. Aku mengikuti kepergian dia dengan segudang pertanyaan yang aku akan tanyakan. Ketika dia terduduk di samping tanggul sambil menatap lurus tak bertujuan. Kudekati dia sambil tersenyum, dia hanya menatapku dengan tatapan kaget dan penuh pertanyaan.
“Halo anak manis..” Sapaku seakrab mungkin padanya, berharap agar dia memang tak akan ketakutan dan menganggapiku sebagai seorang penculik anak – anak. Dia tersenyum sambil tersipu malu.
“Nama kakak Muhammad Abi Rasyid. Panggil saja Kak Abi, ya ?” tanyaku sambil penuh senyuman. Berharap dia akan segera akrab denganku.
“Namamu siapa ?” Tanyaku ketika aku sadar bahwa aku belum mengenal dia.
“Siti Kholifah..” Katanya sambil menatapku dengan senyuman mirisnya.
“Namanya bagus, sebagus wajahnya..” Kataku mulai bercanda, terlihat wajahnya mulai bisa tersenyum. Kuajak dia untuk terus berbincang sebelum aku menanyakan pertanyaan – pertanyaan yang telah aku rangkai. Dia mulai menceritakan mengenai keluarganya. Ibunya telah meninggal dua tahun yang lalu karena mengalami depresi berlebihan dan tekanan darah tinggi. Ayahnya baru mendapatkan pekerjaan ketika Ibunya meninggal dunia. Sekarang dia adalah anak piatu yang memang sedang mengejar mimpi.
“Siti mau jadi apa nanti kalau sudah besar ?” Tanyaku sambil mulai mengeluarkan buku kecilku untuk mencatat hal yang memang kuanggap penting.
“Aku ingin jadi Novelis kak Abi, kayak Andrea Hirata.” Katanya sambil tersenyum (lagi) dengan penuh percaya diri. Andrea Hirata ? Penulis besar bergenre Sosial-Humanis itu ? dihati sudah kuamini saja mimpinya.
“Memang kamu kelas berapa ? kok sudah kenal Andrea Hirata.” Tanyaku dengan penasaran. Jarang ada anak SD sudah mengetahui dunia novel.
“Kelas empat SD, Di Perpustakaan waktu itu ada buku – bukunya. Laskar pelangi, sang pemimpi, Edensor sama Maryamah Karpov. Sayang, waktu itu belum sempat membaca novel Padang Bulan. Terburu ada..” Katanya tertahan. Aku tahu apa yang akan dia ucapkan : Lumpur Lapindo.
“Nanti kakak kirim novelnya dari Jakarta..” kataku sambil menghibur dia yang mulai sesenggukan lagi. Mendengar ucapanku dia mulai tertarik dan menyeka kembali air matanya.
“Apa yang kamu mau dari mereka yang sudah menumpahkan lumpur itu ?” kataku sambil menunjuk ke tengah semburan yang masih mengeluarkan asap.
“Kehidupan aku waktu dulu..” Lagi, aku tercengang dengan ucapannya yang seperti orang dewasa. Mungkin itu efek dari membaca novel yang memang sangat dia gemari.
“Oh iya, makasih ya waktunya gadis cantik. Nanti kakak kirim novel Padang Bulan karya Bang Andis.” Kataku sambil berdiri akan beranjak.
“Iya. Kak Abi mau ke Jakarta ?” Tanya Siti sambil ikut berdiri, kurangkul pundaknya sambil berjalan disampingnya.
“Iya, kenapa ?”
“Boleh Siti nitip surat, ya ?”
“Surat apa ?”
“Surat untuk Presiden..” katanya dengan percaya diri. Kutatap tak percaya ucapannya itu, surat untuk presiden ? hal yang menarik..
“Boleh kakak baca ?” Tanyaku dengan nada memohon padanya.
“Ini, tapi jangan bilang – bilang sama orang lain, ya ? yang buat itu Kak Ratih, kakakku.” Katanya sambil mengeluarkan sebuah kertas kusam dengan tulisan yang cukup rapih. Kubaca kata – katanya yang memang indah. Pantas tulisannya bagus.

Sidoarjo, 28 Mei 2012
Kepad Yth
Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI di tempat.

Assalamu’alaikum Wr Wb,
Pak SBY yang merakyat, kami adalah suara dari anak – anak Porong dan korban Lumpur Lapindo. Bisakah Bapak menindak tegas Lapindo secepatnya dan menyuruh mereka membayar ganti rugi, rugi hati rugi badan ? Kami disini adalah rakyat Bapak yang memang memiliki hak hidup yang sama. Menurut Ibu Martina, Pasal 28A-J itu bukannya mengatur tentang hak kami juga ? atau memang hak hidup dan hak mengenai kebebasan mendapatkan fasilitas dari pemerintah itu sudah dibatasi untuk rakyat seperti kami.
Kami ingin bersekolah secara layak, Pak. Bagaimana jikalau kami menjadi generasi yang bodoh, Apakah Bapak mau melihat kami menangis di tengah malam karena tak mendapatkan ranking ? apakah bapak tega kami hanya menggunakan baju sekolah yang sudah menguning itu ? Bapak, kami sangat merindukan desa kami yang dulu. Rindang dan subur. Apakah kami akan mendapatkan kembali semua kehidupan kami yang dulu. Mungkin, suara kehidupan kami memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupan Bapak yang kami hormati. Tapi marilah saling bicara, barangkali kita dapat mengusir kelaparan dan kejenuhan belajar karena ruangan yang sumpek.
Kami ingin Bapak datang kesini dengan membawa sejuta kehidupan.
Anak Pemakan Lumpur
Wassalamu’alaikum Wr Wb”
       Aku hanya tersenyum pada Siti yang menutup mukanya malu. Kuelus rambut Siti lalu memeluknya erat, seperti Kakak kepada Adiknya. Tak peduli jika bajuku mendapatkan bercak lumpur karena mukanya Siti yang belum sempat dibersihkan.
“Insyaallah, kakak sampaikan semampu kakak, ya ?”

       Diapun tersenyum dan memelukku lebih erat. Tiba – tiba,  hasil karya sebuah gambar anak SD melenggang di depan kami. Wajah yang tak jelas dengan tangan yang mengepal tergambar di kartin itu. Tertulis dibawahnya :
“Bakr**, Aku tinju kau !"



admin:
Cerita yang mengangkat tema Lapindo, lain daripada yang lain. Saya sendiri suka genre ini, karena menguras emosi empati kita, yang memang seharusnyalah energi galau kita tidak hanya tercurah untuk cinta monyet-monyetan yang berlebihan meluber kemana-mana. He.., tapi memang benar kan? kita terbiasa mencurahkan kegalauan kita karena  orang yang sama sekali ndak berjasa apa-apa sama kita, dia juga ndak perlu kita kasihani.

Lho, belum paham maksudnya>? kan sering banget galau karena pacar, mengurus perhatian pacar, padahal ayah-bunda-kakak-adik-oma-opa aja perhatiannya seabrek-abrek ..

Oke, kembali ke cerita. Dari segi EYD tetap perlu ada perbaikan. Contoh:
 .. kepergian beberapa Jurnalis ke daerah..

Istilah Anak Wanita ==> sepertinya mengandung ambigu. Lebih tepat jika mungkin diganti dengan gadis kecil.

ANTARA SAHABAT dan CINTA

Sahabat dan Cinta, dua hal yang kadang membingungkan dan terkadang menyenangkan. Sahabat dan Cinta tak bisa terlepas dari kehidupan kita. Sahabat adalah segalanya sedangkan Cinta adalah anugrah. Sahabat dan Cinta dapat memberi warna dan kebahagiaan dalam kehidupan kita, namun bagaimana jadinya jika kita harus memilih di antara sahabat atau cinta yang membuat kita susah dan bingung?, tentu sulit untuk menentukan. Namun kita harus bisa menentukan salah satunya. Itulah yang kini di rasakan oleh Cinta Rahma Putri. Cinta begitu ia biasa di sapa merupakan orang yang sulit untuk jatuh cinta. Hari-harinya selalu ia habiskan bersama sahabatnya Ita dan Aira. Cinta, Ita, dan Aira sudah bersahabat sejak mereka masih kecil hingga sekarang. Beda dengan Cinta, Ita dan Aira sangat mudah untuk jatuh cinta, terutama Aira. Ia paling sering gonta-ganti pacar, hingga ia mendapat julukan Playgirl. Sebenarnya banyak lelaki yang ingin menjadi kekasih Cinta, namun selalu saja ditolak olehnya, berbagai alasan dilontarkan dari bibir manisnya mengapa ia tak ingin memiliki seorang kekasih.

****
Pagi ini seperti biasa Cinta dan ke dua sahabatnya Ita dan Aira pergi ke sekolah. Mereka bersekolah disalah satu SMA ternama di Bandung. Jarak sekolah mereka tidak terlalu jauh dari rumahnya, maka tidak heran kalau mereka selalu jalan kaki jika berangkat maupun pulang sekolah. Tak butuh waktu lama Cinta, Ita dan Aira sampai di sekolah mereka. Dengan santai Cinta, Ita, dan Aira berjalan melewati satu-persatu koridor sekolahnya. Semua mata tertuju pada mereka bertiga. Memang Cinta, Ita dan Aira merupakan idola sekolah. Penampilan yang modis dan prestasi yang memumpuni membuat mereka dikenal oleh semua siswa, terutama siswa laki-laki. Sesampai di kelas, mereka langsung duduk dan menaruh tas mereka. Ita dan Aira duduk bersama sedangkan Cinta hanya sendiri.
“Cin, Aira kalian sudah ngerjain tugasnya Pak Roby belum?”tanya Ita seraya menaruh tasnya.
“Gue sih tenang semuanya sudah gue kerjain.”jawab Aira bangga.
“Hah ada tugas ya?, emang kapan Pak Roby ngasih tugas? yang mana tugasnya?, kok gue gak di kasih tau?”bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan Cinta kepada Ita dan Aira.
“Kalo nanya satu-satu neng jangan main nyrobot!”ujar Ita kesal.
“Ya, habis kalian gak ada ngasih tau, terus gue gimana nih? gue kan belum buat tugasnya bentar lagikan bel. Ahhh Ita, Aira gue harus gimana?”ujar Cinta bingung.
“Santai aja kali, nih salin tugas gue aja!”ujar Aira sembari memberikan buku tugasnya kepada Cinta.
“Makasih ya Ra, lo emang sahabat gue paling cantik dan paling baik deh.”ujarnya memuji Aira.
“Gue nggak nih?”ujar Ita sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Hehe, lo juga kok, pokoknya kalian berdua emang sahabat terbaik gue deh.”Cinta pun memeluk ke dua sahabatnya.
“Ya udah kalau gitu gak usah banyak omong, cepet selesaiin tugasnya ntar keburu gurunya datang!”ujar Ita seraya melepas pelukannya.
“Iya iya nih sekarang gue lagi nyalin.

****
Cinta mengerjakan tugas dengan tergesa-gesa, ditambah bel yang telah berbunyi membuatnya semakin mempercepat gerakan tangannnya untuk menulis. Tak perduli akan kedatangan wali kelasnya yang membawa murid baru.
“Pagi anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Reza silahkan perkenalkan diri kamu!”sapa guru tersebut sambil memperkenalkan Reza.
“Pagi semua, perkenalkan nama saya Reza Prasetya, kalian bisa memanggil saya Reza. Saya pindahan dari jakarta, sekian perkenalan dari saya, saya harap bisa berteman baik dengan kalian semua.”ujarnya memperkenalkan diri.
Seketika keadaan kelas menjadi riuh setelah Reza memperkenalkan dirinya.
“Duh, ngapain juga sih triak-triak ganggu konsentrasi gue aja.”gumam Cinta yang masih fokus menyalin tugasnya.
“Baik Reza silahkan kamu duduk di sebelah Cinta!”perintah guru tersebut, lalu keluar dari kelas.
Reza berjalan menuju tempat duduk Cinta. Cinta masih tak mengetahui keberadaan Reza yang sedari tadi duduk di sebelahnya. Ia masih saja fokus dengan kerjaannya. Karena merasa bosan Reza pun mencoba mengenalkan dirinya pada Cinta.
“Hay, lo Cintakan? kenalin gue Reza.”ujarnya sambil mengulurkan tangannya, namun tak ada jawaban dari Cinta.
Ita dan Aira yang memperhatikan Cinta tak perduli akan keberadaan Reza mengambil buku yang sedang ia tulis, sontak hal itu membuat Cinta marah pada ke dua sahabatnya itu.
“Ih Ita, Aira lo berdua ya gu,,,”ujarnya terpotong karena melihat seseorang telah duduk di sampingnya.
“Heh sejak kapan lo duduk disini? Siapa juga yang ngijinin lo duduk disini?”pekiknya.
Belum sempat Reza menjawab, sudah didahului oleh Ita dan Aira.
“Hello, Cinta ku sayang dia mah udah dari tadi duduk sama lo, lo nya aja yang gak tau.”ujar Aira dengan manjanya.
“Iya kali Cin, lo nya aja yang gak nyadar, dari tadi dia sudah ngajakin lo kenalan tapi lo nya malah nyuekin dia.”sambung Ita.
“Oh gitu ya, sory deh gue gak tau.”ujar Cinta ketus.
“Gak apa kok, oh ya gue Reza.”Reza kembali mengulurkan tangannya.
“Cinta,,,!”balasnya ketus.
****
Selama pelajaran Cinta tak memperdulikan keberadaan Reza, kedua sahabatnya yang melihat pun hanya bisa mengangkat bahunya pertanda tak mengerti. Lama berkutat dengan pelajaran yang membuat bosan bel pun berbunyi. Semua siswa berhamburan ke kantin untuk mengisi perut mereka yang sudah kelaparan. Tak terkecuali dengan Cinta dan kedua sahabatnya, mereka segera pergi menuju kantin setelah bel berbunyi.
“Cinta lo kenapa sih diemin Reza mulu?, kasian tau orangnya!”tegur Ita saat mereka berada di kantin.
“Males aja gue duduk sama orang yang ngebosenin.”ujarnya tak bersemangat.
“Ngebosenin dari mananya? yang ada Reza mah asik, keren, dan tentunya ganteng. Yaaa kalau lo gak mau duduk sama dia biar gue aja yang duduk bareng dia, biar bisa gue jadiin gebetan gitu.”ujar Aira yang berbinar-binar.
“Yeee lo mah gak bisa liat cowok ganteng dikit langsung kecantol, pacar-pacar lo mau lo apain? Anak orang lo mainin!”Ita yang jengkel akan sikap Aira pun menoyor kepala sahabatnya.
“Bisa gak kalau ngebahas soal cowok gak di depan gue males tau, buat lo ya Ra, kalau lo mau duduk sama dia silahkan aja, biar gue duduk sama Ita.”usul Cinta.
“Gue mah mau-mau aja, kapan nih pindahnya?”tanya Ita sambil menyantap makanannya.
“Habis bel ini kita pindah.”ujar Cinta dan Aira kompak.
“Aiiissshhh kompakan lo berdua, ya sudah ntar kita pindah.”Itapun pergi meninggalkan kantin.
“Woiii makanan lo udah di bayar?”ujar Aira sedikit berteriak karena Ita sudah menjauh.
“Lo aja yang bayarin! gue belum bayar.”Ita hanya cengengesan dan segera lari meninggalkan kedua sahabatnya.
“Tu anak kebiasaan banget sih.”gerutu Aira kesal.
“Gue juga ya, bayarin makanan gue!”ujar Cinta yang pergi menyusul Ita.
“Ita, Cinta lo berdua ya, bokek deh gue hari ini.”Aira pun membayar kedua makanan sahabatnya
****
Aira kembali ke kelasnya dengan kesal. Ketika ia memasuki kelas, terlihat Reza yang juga memasuki kelas. Reza melempar senyuman pada Aira, sontak wajah Aira menjadi merah karena malu. Cinta dan Ita yang melihatnya langsung menyoraki Aira, sedangkan Aira hanya tersipu malu dan kembali berjalan menuju tempat duduknya. Seperti perjanjian di kantin, Aira dan Cinta bertukar tempat duduk, namun ketika Cinta hendak mengambil tasnya terasa ada yang menahan tangannya.
“Mau kemana, bolos?”tanya Reza yang masih memegang tangan Cinta.
“Bukan urusan lo, yuk Ra.”ujarnya ketus seraya menepis tangan Reza.
Reza masih tak mengerti dengan sikap Cinta yang dikiranya akan bolos. Namun ia bingung melihat Cinta berjalan menuju bangku Aira.
“Ngapain lo duduk di situ, terus gue sama siapa?”cetus Reza
“Kan ada Aira.”Cinta pun berjalan menuju tempat duduk Aira.
Reza hanya bisa pasrah melihat Aira yang duduk di sampingnya. Sejujurnya ia sangat tak menginginkan jika harus duduk dengan Aira, namun karena Cinta yang minta ya sudah. Waktu yang ditunggu-tunggu datang, bel pulang berbunyi. Ada sedikit kelegaan yang dirasakan Reza, karena bisa terbebas dari Aira. Reza segera menuju parkiran dan mengambil motornya, lalu melajukannya dengan santai. Di depan gerbang terlihat Cinta dan sahabat-sahabatnya sedang berjalan sambil bercanda. Reza segera menghentikan motornya dan menawarkan kepada Cinta untuk pulang bersama. Terlihat wajah Aira yang cemburu, namun dengan segera Cinta menolak tawaran Reza karena tak enak dengan Aira.
“Kenapa lo tolak?”ketus Aira.
“Udah bagus gue tolak jadi lo gak usah cemburu, lo kira gue suka gitu jalan sama anak baru?”Cinta melanjutkan jalannya disusul ke dua sahabatnya.
“Hehehe bagus deh. Gue kira lo suka sama dia.
“Mana mungkin gue suka sama gebetan sahabat gue.
“Apalagi gue.”Ita yang sedari tadi diam pun angkat bicara.
“Nah gitu dong, SAHABAT?”Aira mengacungkan kelingkingnya, lalu disambut kelingking Cinta dan Ita.

****
Sudah 2 bulan Reza bersekolah dengan Cinta dan sahabat-sahabatnya, selama itu pula Cinta, Ita, dan Aira mulai dekat dengan Reza. Bisa dibilang Cinta mulai menyukai Reza, namun semua ia pendam karena tau bahwa Aira sudah menyukai Reza sejak dulu. Ditambah Ita yang juga mulai menyukai Reza semenjak mereka pernah satu kelompok belajar. Semua membuat Cinta bingung apakah dia harus bercerita atau memendamnya, dan Cinta pun memutuskan untuk memendam rasanya, karena tak ingin persahabatan mereka hancur.
“Cin, menurut lo Reza suka gak sama gue?”tanya Ita saat mereka berada di taman sekolah, kebetulan Aira tak ada di sana dan ia masih ada di kantin.
DEG!!!! Cinta kaget akan pertanyaan Ita, namun sebisa mungkin ia menjawabnya dengan tenang.
“Gue sih gak tau, tanya aja dari pada lo penasaran! Oh ya Aira udah tau kalau lo juga suka sama Reza?”Cinta sedikit menurunkan volume suaranya.
“Ja,, jadi lo juga suka sama Reza?”tanya Aira yang tiba-tiba datang.
“Aira!”pekik Cinta dan Ita.
“See,, se,,, sejak kapan lll,,, lo di situ?”tanya Ita terbata-bata.
“Lo gak perlu tau sejak kapan gue ada disini, gue sudah tau dan denger semua, ngaku aja deh lo, kalau lo suka sama Reza kan Ta? Waktu itu lo bilang gak akan suka sama gebetan sahabat lo, tapi sekarang apa? Lo malah nusuk gue dari belakang! Dan lo Cinta, kenapa lo gak cerita kalau Ita juga suka sama Reza hah? Sahabat macam apa kalian?”bentak Aira disertai air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya.
“Ra, ijinin gue buat jelasin semua, jangan salah paham dulu!”Cinta berusaha menenangkan Aira, sedangkan Ita hanya bisa menunduk tak berani menatap ke dua sahabatnya.
“Salah paham apa lagi hah? Jelas-jelas lo berdua udah nusuk gue dari belakang, gue gak nyangka sama lo berdua, sahabat yang gue percaya ternyata nusuk gue dari belakang!”ujar Aira seraya berjalan meninggalkan Ita dan Cinta.
“Maafin gue, karena gue semua jadi kayak gini.”ujar Ita lirih sambil berlalu meninggalkan Cinta.

****
Kejadian di taman minggu lalu membuat persahabatan Cinta, Aira, dan Ita mulai retak, tak ada candaan, tak ada tawa mereka seperti dulu. Jangankan untuk bercanda, menyapa saja mereka sudah jarang. Cinta sangat merasa bersalah atas kejadian itu. Di satu sisi ia menginginkan persahabatannya seperti dulu, namun di sisi lain ia juga tak bisa memungkiri perasaannya. Kali ini ia mengajak ke dua sahabatnya ke taman sekolah. Di mana tempat itu yang menjadi saksi retaknya persahabatan mereka. Meskipun awalnya Ita dan Aira menolak, namun karena terus dipaksa mereka pun mengikuti langkah Cinta. HENING! itulah yang terjadi ketika mereka sampai di taman itu.
“Sebenernya lo mau ngomong apa sih? To the point aja!”ujar Aira memecah keheningan.
“Mmmmm, gue mau jelasin sesuatu.”ujar Cinta sambil menatap kedua sahabatnya.
“Sejujurnya gue juga suka sama Reza, tapi gue tau kalau kalian berdua juga suka sama dia. Makanya gue diem dan gak mau persahabatan kita hancur hanya gara-gara cowok, apalagi semenjak kejadian minggu lalu. Gue sadar kalau apa yang gue lakuin ini salah tapi gue juga gak mau kalau kita diem-dieman terus. Dan gue udah bertekad buat lupain Reza, sekarang terserah kalian mau nganggap gue kayak apa, yang pentig gue udah jelasin semuanya.”jelas Cinta, sedangkan Ita dan Aira masih menganga tak percaya dengan ucapan Cinta.

****
Keheningan kembali terjadi setelah Cinta menjelaskan semuanya. Tak ada yang protes, tak ada yang angkat bicara hingga keadaan semakin hening. Namun tak lama ada seseorang yang mengagetkan mereka. REZA, ya dialah orangnya.
“Mau ngapain lo?”ketus Aira dan Ita.
“Gue mau ngomong penting sama Cinta. Cin kita bisa ngomong bentarkan?”Reza menarik tangan Cinta, namun Cinta masih berdiri mematung.
“Ngomong disini aja! Kalau nggak, gue gak bakal mau.”ujar Cinta dingin, Reza menghembuskan nafasnya lalu kembali menatap Cinta.
“Sejujurnya gue suka sama lo, awalnya gue ragu kalau lo bakal suka sama gue, tapi setelah denger ucapan lo tadi gu,,,”ujar Reza terpotong.
“Jangan bilang kalau dari tadi lo nguping pembicaraan gue sama sahabat gue?”ujar Cinta berusaha menebak.
“Sebenernya dari tadi gue sudah ada disini dan gue juga denger semua pembicaraan lo. Jadi itu membuat gue yakin kalau lo juga suka sama gue, gue harap lo mau jadi pacar gue!”ujar Reza serius sambil menatap lekat mata Cinta.
Aira dan Ita hanya terperangah mendengar penuturan Reza, mereka melirik ke arah Cinta dan menantikan jawaban dari Cinta.
“Awalnya gue emang benci sama lo, dan lama-lama gue suka sama lo. Tapi sory gue gak bisa nerima lo, gue gak mau kalau persahabatan gue jadi tambah berantakan hanya gara-gara gue menjalin hubungan dengan lo. Gue harap lo bisa nerima keputusan gue!”ujar Cinta tegas dan membuat kedua sahabatnya menganga tak percaya.
“Ok, kalau itu yang terbaik buat lo”Reza berlalu dari hadapan Cinta dan sahabatnya dengan perasaan kecewa.
“Kenapa lo tolak?”tanya Ita tak percaya.
“Daripada ntar gue dicap penghianat dan gak sahabatan lagi cuma gara-gara cowok mending gue tolak, toh masih banyak cowok diluar sana.”jawa Cinta santai.
“Lo gak nyesel gitu? Dia kan cinta pertama lo, tapi,,,”ujar Aira menggantung.
“Gak ada kata nyesel buat gue kalau semuanya demi sahabat-sahabat gue, kalau cowok masih bisa dicari, tapi kalau sahabat? Kan belum tentu kita dapetin dengan mudah”ujar Cinta bijak.
“Kalau lo bisa nglupain dan ngerelain cinta pertama lo demi sahabat-sahabat lo ini, kenapa gue nggak? Gue bakal lupain Reza dan nyari yang lain.”timpal Aira.
“Gue juga.”sambung Ita.
“Yeee, elo mah ikut-ikutan aja, jadi gimana?”Aira mengangkat kelingkingnya, Cinta dan Ita berpandangan, detik kemudian mereka ikut menautkan kelingkingnya.
“SAHABAT,,,,,,, SELAMANYA!!!”ujar mereka bertiga di tengah taman.
****

END





admin:

Ini cerita pertama edisi liburan, silahkan Pulpeners ber-like serta berkomentar-ria dari berbagai segi penilaian. Ingat, kita sharing bersama.

mungkin sekedar EYD juga ndak apa-apa, misalnya:
“Ngomong disini aja! Kalau nggak, gue gak bakal mau.”ujar Cinta dingin







Malam Tanpa Purnama

Senja temaram. Rupanya sang surya sudah memulai peraduannya. Petang ini sepertinya datang lebih cepat, burung-burung sudah pulang ke sarang masing-masing sedari tadi. Sedangkan kelelawar yang biasa bercanda-ria sebelum berangkat berburu buah pun tak kunjung nampak terlihat. Pinggiran hutan ini mulai berasa dingin yang menusuk hati. Juga perasaan-perasaan diawasi oleh sekitar, kiri-kanan, dan juga belakang.

Bebauan bercampur asap tipis, serta udara yang mulai mengembun, serasa mencengkeram kulit siapapun makhluk hidup yang lewat. Aroma hutan yang semula panas mudah terbakar di siang bolong, benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat kala malam menjelang.

Namun Doni tak peduli dengan semua keadaan itu. Dia sudah menenteng tas punggung dan juga kantung plastik hitam, berisi entah apa. Yang pasti isinya bergerak-gerak.

Doni beberapa kali melirik ke jam tangan Rolex palsunya, dia merogoh mencari-cari dari tasnya sebuah mangkuk kecil. Sesaat selanjutnya, dia keluarkan pula pisau yang berkilat dari tas punggungnya. Setelah meyakinkan ketajaman pisaunya dengan memotong daun-daun kecil, dengan hati-hati sekali dikeluarkannya yang sejak tadi masih sempat bergerak-gerak dalam kantong plastic hitam itu.

Terlihatlah seperti ayam muda yang berwarna hitam. Ah, bukan. Terlalu hitam. Sepertinya ayam cemani. Ah, bukan juga, bukan ayam. Tetapi burung, ya.. burung gagak. Tidak salah lagi. Yang dikeluarkan dari kantung plastik itu ternyata burung gagak yang diikat kaki, paruh dan sayapnya.

Mata Doni berkilat kejam, dengan mulut berseringai tangan kirinya menenteng gagak tersebut.
“Gagak Rimang sengkala, berpeluh rindu pala, ijinkan aku memakai ragamu untuk berpagut durga permata,” kata Doni seolah-olah ditujukan kepada gagaknya.

Secepat selesainya kalimat itu tangannya mengiris nadi leher gagak, dan menampung darahnya di mangkuk beling yang disiapkan tadi. Doni terlihat puas dengan darah tertampungnya, sedikit beberapa terlihat bercak di kaus putihnya, serta beberapa titik di mukanya.

Doni melihat ke sekeliling, diambilnya beberapa kayu kering dan dikumpulkan membentuk suatu formasi kayu api unggun skala kecil. Tak lupa dedaunan kering untuk mempermudah api menyala. Doni melirik lagi ke jam tangan, kemudian ke gagak tergorok itu. Bergegas dicabutinya semua bulu hitam si gagak. Tak perlu lebih dari sepuluh menit, kulit gagak sudah terlihat semua, bersih merona.

“Hmm, persiapan selanjutnya…,” gumam Doni sembari menghela nafas. Diambilnya korek api dan segeralah tersulut tumpukan kayu tadi menyala-nyala meliuk menggapai langit.

Dengan mantap ditusuknya tubuh gagak malang itu memakai kayu weling, kemudian dipangganglah. Segera terdengar
gemeretak kayu diiringi bersedut kulit gagak. Tercium pula aroma gagak panggang yang harum gosong.
Beberapa kali Doni menuangkan serupa saus tetapi ah, ternyata darah gagak itu sendiri, ke bagian-bagian daging gagak yang mulai memerah panggang. Menambah aroma yang sebenarnya bagi hidung normal manusia membuat enek dan muntah. Tapi Doni sudah tidak berpikir terlalu ribet lagi. Dilihatnya hasil panggangannya, sambil tersenyum puas, dia kemudian berdiri serta melepas seluruh pakaiaannya telanjang bulat.

Berteriaklah dia:

Hong wilaheng prayoga naniro, Aku si komo dadiaku teko ngajak dulurku si komo wurung, mayan-mayanku, bukakno plawangan gaibe…
sedulurku den baguse kaki Gandaruwo, Hu..hu..hu..hurip ,jud maujudo ono ngarsaku heh dulurku,tak jaluk mreneyo,jabang bayiku…
duwe perlu marang sliramu, siro teko-o,wujuto gage memoni aku

Berulangkali Doni teriakkan kata mantra itu, sambil berputar-putar dan mengipasi gagak panggangnya. Jika saja ada yang melihat pasti sudah lari ketakutan karena disangkanya orang gila.

Sepuluh menit kemudian Doni sudah merasa terlalu lelah, sangat. Dia putus asa, wajahnya berkata dia takkan berhasil.
Sekonyong-konyong dari arah depan Doni sudah berdiri makhluk tinggi besar berbulu lebat bermata merah, bersiung tajam sambil hidung peseknya berkedut-kedut.

“Untukku…..,” geram makhluk itu sambil menunjuk ke tangan Doni.

Terperanjat Doni melihat makhluk itu, belum sempat berkata apapun, telah muncul tiga makhluk serupa di sekelilingnya. Entah apa yang dipikirkan Doni, tapi sekilas dia pernah mendengar bahwa makhluk ini harus tawar-menawar terlebih dahulu, semacam orang berdagang. Tiba-tiba dia tersenyum dan berkata gemetar-yang berusaha untuk dilantangkan,

“Akan aku berikan kepada yang mau memenuhi permintaanku….”

“Grrrrr…….,” geram makhluk yang terdepan. Dari nadanya, Doni seperti menangkap sebuah pertanyaan yang senada:apa permintaanmu?

“Hanya empat angka togel yang berurutan keluar malam ini, itu saja!”, teriak Doni seperti menjawab.

Makhluk yang terpendek, berada di sisi kirinya langsung menjawab, “Empat lima enam tujuh, untukku!”

Doni tersenyum mengejek, “Aku tidak bodoh, tidak ada nomor togel seperti itu!!”

Mahkluk yang paling depan serta berukuran sedang mendekat, mendengus dan menatap tajam Doni.


“Aku cukup terganggu dengan bau-bau yang kami suka ini, tetapi itu tidak cukup untuk membayar permintaanmu. Kau harus menambahnya”

“Tidak bisa, kalau mau ya gagak seekor ini. Kalau tidak mau akan ku bawa pulang dan kuberikan anjing tetanggaku!” Doni menjawabnya tak mau kalah.


“Begini saja, aku hanya bisa berikan satu nomor untuk gagak panggangmu itu!”

“Tidak mau, aku sudah menangkap dan membakarnya susah payah, lagian satu nomor itu tidak bisa digunakan apa-apa!”

“Kalau begitu ini tawaran terakhir, dua nomor”


“Tidak, empat nomor adalah harga gagak ini”

Makhluk itu saling pandang, hingga yang tertua mengangguk untuk memutuskan.
“Aku yang akan memutuskan, adalah kehormatan untukku dan untuk bangsaku menerima makanan darimu wahai manusia kerdil. Akan aku berikan empat nomor togel untukmu, tapi karena itu adalah kehormatan, maka tambahlah dengan memakan paha yang aku bawa ini!” kata makhluk itu dengan menunjukkan piring saji yang diatasnya ada satu bentuk paha ayam bakar yang kelihatan lezat.

“Apakah itu beracun?” tanya Doni. Dia memandang curiga ke nampan itu, meski matanya terlihat tergoda, apalagi dia baru makan satu kali untuk hari ini itupun dengan berlauk tempe kemarin.

“Tidak, wahai manusia. Aku jamin demi raja dedemit, kau tetap tidak apa-apa jika memakan paha ini. Percayalah, ini bagian dari penghormatan kami bangsa gendruwo penghuni hutan ****** ini!”

“Baiklah, aku setuju. Sekarang sebutkan empat angka mujurmu itu!”

Rupanya mahkluk genderuwo itu senang dengan persetujuan Doni, karena di mulut mengerikan mereka tersungging senyum.

Sang tertua menyebutkan empat angka, dan Doni dengan cekatan menghapalkannya. Kemudian gagak bakar itu diserahkannya untuk ditukar dengan nampan berisi paha itu.

Kemudian para genderuwo saling membagi gagak panggang itu dengan gembira, sementara sang tertua mempersilahkan Doni menikmati paha lezat. Doni pun tak menunggu lebih lama lagi, digigitnya , di kecapnya, ternyata lezat sekali. Dia menggigit lagi, dan lagi tanpa perduli bahwa daging gagak yang dipegang genderuwo bertambah banyak di setiap gigitan Doni.

Setelahnya, Doni segera berpamit dan dia melaju ke penjual togel langganannya.

Aih, hampir lupa, Doni kembali sebentar untuk mengambil pakaiannya, bukankah dia tadi telanjang bulat? Sementara Genderuwo-genderuwo itu masih asyik dengan makanan mereka. Doni sedikit heran, untuk ukuran tubuh mereka, bukankah seharusnya sudah habis dari tadi kalau hanya seekor gagak kecil? Ah, Doni tak mau berpikir lebih lama lagi. Jam tangan Rolex palsunya mengatakan waktunya tinggal sedikit untuk memasang nomer terakhir mala mini.

***

Setelah menunggu hampir lewat tengah malam, akhirnya sang penjual togel mengumumkan nomor yang keluar. Doni dengan sumringah menunggu hasilnya. Empat nomor itu telah hapal olehnya luar kepala.
Nomor pertama, ternyata cocok. Doni berteriak dalam hati, serta tersenyum.
Nomor kedua, cocok juga. Senyum Doni semakin lebar.
Nomor ketiga, cocok. Doni sudah tidak tahan.
Nomor keempat! Benar-benar cocok. Doni berteriak girnag loncat-loncat seperti kesetanan. Artinya malam itu dia mendapat tembus togel senilai lebih dari limapuluh juta rupiah.

Doni segera berlari pulang, ingin ditemuinya istri dan anak semata-wayangnya.
“Lastri…., Druwa…, aku pulang…”

Betapa terkejut ketika dilihatnya kerumunan  orang sedesa di depan rumahnya. Tergopoh-gopoh dia bertanya, “Ada apa ini?”

Orang-orang hanya diam dan menyingkir memberi jalan pada Doni.

Doni berjalan masuk serta melihat, istrinya sedang menangis tersedu di samping putranya yang seperti orang tertidur, hanya mukanya yang pucat.

“Lastri, kenapa dengan Druwa?” Tanya Doni berteriak.

Lastri hanya terisak sambil membuka selimut Druwa. Betapa terkejutnya Doni karena paha anak sematawayangnya itu tinggal tulang seperti habis terkoyak digigit macan buas.







Admin:

Hehe, cerita yang bagi beberapa orang horor, ga horor banget sih. Cuma even sebelum memasuki bulan puasa. Maaf ya, hanya sebagai selingan, admin tulis hanya untuk iseng.
Untuk mewarnai Pulpen, setelah beberapa saat ada cerita-cerita sedih.
Nggak apa-apa kan?

Jangan ditiru apapun tujuannya, Juga : Mantra diatas tidak berfungsi, sudah saya modif sedikit di bagian VITAL, kecuali jika kejadian tanpa mantra sang genderuwo sudah kelaparan sehingga datang begitu saja membaui aroma gagak panggangmu.

Jadi, selamat bermalam Jum'at, dan ndak usah terbayangkan cerita ini. Jadi, ketika nanti malam mau ibadah shalat malam, ya ibadah saja, ndak usah mengingat2 cerita ini. Gampang kan?
lagian jin, syetan dan sejenisnya justru takut sama orang berilmu dan beriman.Serius.

^^alkaromainy





SEBELAS EDELWISS 

Sabtu, 12-11-2011                                                                                                      04:35
            Seseorang mengetuk pintu rumahku. Seorang kurir.
            “Nona Dianna? Ada kiriman untuk anda. Sebelas tangkai edelweiss. Kami terima lima hari yang lalu, tetapi minta dikirim sore ini. Pengirimnya tidak diketahui. Dia tidak mau menyebutkan namanya. Dia pergi begitu saja. Silahkan tanda tangan  disini,” dia menyerahkan kertas bukti tanda terima.
            Aku gemetar menerimanya. Aku ingin menangis. Dia tahu dia akan pergi dari jauh-jauh hari. Aku ingin berteriak dan memanggilnya kembali.

Bromo, Minggu, 16-01-2011                                                                                      05:30
            “Edelwiss. Nama latinnya Anaphalis javanica. Biasa tumbuh di dataran tinggi atau puncak-puncak gunung. Tanaman ini bisa disebut juga tanaman perdu, dan termasuk ke dalam anggota family Compositae atau disebut juga Asteraceae. Bunganya bergerombol di ujung dahan dengan keharuman yang khas,” dibenahinya lagi letak kacamatannya.
            “Indah sekali,” ucapku pelan sambil mengamati bunga putih itu di tangan seorang gadis kecil penjual Edelwiss.
            Masih pagi. Dan dingin sekali. Beberapa kali kugosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk mengusir rasa dingin. Dia kembali menatapku dan membenahi letak syalku. Lalu mengarahkan perhatiannya kembali pada kamera nikonnya sambil sesekali menggambil gambar orang-orang yang berkerumun, menanti matahari terbit.
            “Lihat ! Sudah muncul !” dia berseru pelan.
            Aku berpaling ke arah yang ditunjuknya. Semburat jingga muncul di sebelah timur. Matahari muncul malu-malu dengan semburat cahayanya yang indah.
***
Selasa, 8-11-2011                                                                                                        17:30
            “Aku mau sebelas.”
            “Mengapa sebanyak itu ?”
            “Aku menginginkannya. Kau bilang aku boleh meminta apapun. Kau ingat ? Lagipula ini hadiah ulang tahunku,” aku memeluknya dari belakang.
            Dia melepaskan pelukanku lalu berbalik menghadapku dan tersenyum.
            “Baiklah. Tetapi bagaimana jika aku tidak mendapatkannya. Atau mungkin mendapatkannya tetapi bukan sebelas. Mungkin sembilan atau hanya tujuh?”
            Aku tidak mejawabnya dan berpaling ke arah jendela. Melihat matahari tenggelam di ufuk barat. Dia menarik pelan tanganku, membuatku kembali berpaling ke arahnya.
            “Baiklah. Aku akan mendapatkan sebelas edelweiss untukmu,” dia kembali memelukku. Dan angin sore bercengkrama dengan dedaunan kering di pekarangan. Membuat tirai jendela berayun lembut dan menerbangkan sebagian rambutku.
***
Kamis, 10-11-2011                                                                                                     12:30 AM
            “Ceritakan tentang kekasihmu,” Ibuku memaksaku bercerita di telepon. “Ayolah. Ibu ingin tahu. Segera perkenalkan padaku. Aku harus tahu seperti apa calon suami putriku. Jangan sampai kau memilih pria yang salah. Cukup aku saja yang salah memilih ayahmu.”
            “Bu…,” ucapku pelan, berusaha menahan tangis. Kata-kata terakhinya mengingatkanku pada ayahku. Lelaki yang sejak 17 tahun yang lalu meninggalkan aku dan ibu, lalu pergi bersama wanita lain. Untuk sejenak aku terdiam. Merasakan sakit akibat mengingat hal buruk di masa lalu. Tiba-tiba segumpal kenangan dalam memoriku memaksa keluar. Memaksaku untuk melihatnya lagi. Tidak ada apapun. Hanya sakit dan kepedihan yang kurasakan.
            Dua puluh tahun yang lalu. Seorang gadis kecil berjalan ketakukan di balik punggung ayahnya, sedangkan sang ayah berusaha menggandeng tangannya sembari tersenyum. Itu aku dan ayahku, saat dia mengantarkanku ke sekolah saat aku masuk Sekolah Dasar. Aku menahan tangisku mengenangnya.
            Mata kecilku berkaca-kaca menyaksikan ayahku bersembunyi di balik boneka beruang besar berwarna cokelat. Itu hadiah ulang tahunku yang ke-tujuh.
            Dianna kecil menangis ketakutan. Seorang badut berjalan mendekatinya sambil menyerahkan sebuah balon. Ayahnya menghampirinya sambil tertawa, dan membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Dianna takut,Yah”. Dianna kecil tetap menangis.
            16 tahun yang lalu. Aku menangis di balik pintu. Ibuku menangis sambil menahan rasa sakit akibat pukulan ayah di wajahnya. Sementara itu ayah membanting pintu dengan amarahnya.
            17 tahun yang lalu. Aku berdiri di ambang pintu kamar ayahku. Menyaksikkan hal yang tidak bisa kumengerti. Ayahku mengemasi seluruh pakaiannya dan pergi dengan tergesa-gesa tanpa menghiraukanku yang memanggilnya sambil menangis menahan kepergiannya. Dan itu hari terakhirku melihat ayah.
            “Dianna, kau masih disana?” Ibuku membuyarkan lamunanku. “Ibu akan menelponmu lagi besuk. Sekarang restoran sudah mulai ramai, jam makan siang. Jangan lupa, aku masih menyimpan pertanyaanku tentang kekasihmu,” Ibuku menutup teleponnya.
            Aku tersenyum. Bisa kubayangkan. Dia akan sibuk mengawasi pegawai restorannya. Lalu berjalan kembali ke dapur mengawasi kokinya dan kembali lagi untuk memastikan tidak ada pelanggannya yang merasa tidak nyaman. Dia perempuan terkuat yang pernah kutemui. Ibuku.
            Pertanyaan ibuku tentang Juna sedikit mengusikku. Bagaimana aku akan menceritakan tentang dirinya.
            Arjuna Bagaskara. Aku biasa memanggilnya Juna. Dia kakak kelasku sewaktu SMU, walaupun kami tidak saling mengenal saat itu. Lalu kami bertemu lagi karena satu universitas. Selama bertahun-tahun di tempat yang sama tetapi tidak saling mengenal. Sampai akhirnya tiga tahun yamg lalu, kami bertemu di Bromo, saat aku berlibur kesana dengan teman kuliahku. Dia di sana saat itu, memegang kamera Nikon kesayangannya dan meminta izin padaku untuk memotretku, dengan latar belakang matahari tenggelam. Hanya itu saja, tanpa berkenalan satu sama lain. Lalu dia berlalu dengan meninggalkan senyum manisnya untuk kukenang dan ucapan terimakasih. Hanya itu. Tetapi itu saja sudah cukup membuatku berbunga-bunga. Aku menyukainya sejak SMU dan hanya bisa melihatnya dari jauh. Dan sekarang dia memotretku dan tersenyum padaku.
            Seminggu berikutnya seorang perempuan yang tak kukenal memberiku sebuah novel dan surat tanpa memberitahuku siapa pengirimnya.Dia berlalu begitu saja sambil tersenyum ke arahku. Surat cinta yang manis, tanpa pengirim. Dan novel itu. Aku masih menyimpannya dan membacanya berulang kali sampai saat ini, “Winter in Tokyo” juga suratnya. Aku heran dan bertanya-tanya. Siapa pengirimnya ? Dan darimana dia tahu kalau aku menginginkan novel itu. Aku juga menerka-nerka siapa yang menulis surat itu. Tulisannya rapi, dan ia menuliskan hal ini :
Empat tahun berlalu. Dan aku masih saja menjadi pengecut. Yang hanya mampu mencintaimu dari jauh. Yang hanya bisa membungkus rinduku dan menyembunyikannya darimu. Yang setiap hari menyimpan kekhawatiran mengenai kehadiran laki-laki lain yang mungkin akan membuatmu jatuh cinta padanya. Aku hanya bisa mencintaimu dari jauh.
            Surat yang membuatku takut, penasaran, bahagia sekaligus bertanya-tanya. Siapa yang mencintaiku sejak empat tahun yang lalu? Mungkinkah itu Arjuna? Dan hatiku semakin berdebar saat membuka lembaran pertama novel itu. Disana terselip sebuah potret seorang gadis dengan rambut panjang yang tertiup angin, dengan latar belakang matahari tenggelam dan gunung Bromo. Aku tercekat. Itu diriku ! Dan aku ingat betul siapa yang mengambil gambar itu. Arjuna !
            Aku bahagia sekaligus tidak percaya. Seakan-akan dunia di sekelilingku berhenti dan hanya ada aku disana, yang tak sanggup berkata-kata. Lamunanku terhenti ketika salah seorang sahabatku menyenggol bahuku.
            “Hei, kau tahu. Pria itu bertanya padaku mengenai banyak hal tentangmu. Sepertinya dia menyukaimu,” dia mengedipkan sebelah matanya. Lalu meminum minuman pesanannya di meja kantin kampus.
            Pikiranku kembali dari khayalan. “Siapa?” seruku penasaran. Dia tersedak minumannya.
            “Maaf,” kataku berusaha menenangkannya dengan panik.
            “Dia. Kau tahu? Kakak tingkat kita yang tampan,cerdas, berkacamata. Tetapi juga pendiam dan sedikit aneh. Dia memotretmu di Bromo.”
            Dan seolah dunia benar-benar terhenti.
            Arjuna Bagaskara. Dia memang seperti Arjuna dalam kisah pewayangan. Arjuna yang tampan. Arjuna yang senang berkelana. Yang berambisi ingin mengajakku berkeliling dunia dan mengabadikannya dalam sebuah potret.
            Arjuna Bagaskara. Aku yakin Ibuku akan menyukainya. Setidaknya dia tidak seperti Ayahku yang perokok, kasar kepada perempuan dan penjudi. Tidak ! Dia tidak seperti itu. Dia memang agak dingin dan jarang berbicara. Tetapi dia memiliki hati yang lembut dan kupikir tindakannya sudah cukup daripada kata-katanya.
            Dia menyukai alam dan suka bepergian. Beberapa kali dia mengajakku mengunjungi dataran tinggi Dieng, mendaki gunung, mendengarkan suara ombak di pantai, dan tentu saja mengejar sunset. Dia menyukai sunset, sama sepertiku. Sunset, matahari, seperti namanya. Bagaskara=matahari. Dan dia bersikeras mengabadikan setiap sunset yang kita jumpai dengan kameranya. Dengan aku sebagai gadis dalam potretnya. Aku menyimpan semua potretnya dan menyimpannya dalam sebuah album. Sunset saat kami di Bromo, pantai Senggigi di Lombok, di Bali dan masih banyak lagi.
Arjuna. Aku menyukai segala hal tentangnya. Aku menyukai caranya membenahi letak kacamatanya. Aku menyukai caranya memandangku. Aku menyukai saat dia berjalan menjauh sambil membawa tas punggungnya. Aku menyukai caranya memperbaiki tali sepatunya yang lepas. Aku menyukai  rambutnya yang berantakan. Aku menyukai saat dia  tertawa di sampingku.
            Tetapi dia tidak di sini. Dia pergi untuk beberapa hari ini, melepaskan kerinduannya pada alam, pepohonan, awan, udara di pegunungan dan angin. Dia pergi bersama kawan-kawannya di klub pecinta alam, mendaki gunung. Dan dia telah menjanjikan sebelas edelwiss sebagai hadiah dari kepulangannya dan hadiah ulang tahunku. Aku menunggunya.
***
Jum’at, 11-11-2011                                                                                                     08:00
            Aku jengah melihat layar ponselku dan tidak menemukan apapun di sana. Tidak ada pesan singkat darimu, panggilan masuk atau apapun. Aku mengkhawatirkannya. Dia tidak memberi kabar apapun dua hari ini.
                                                                                                                                    11:11
            Seorang laki-laki menelponku, mengatakan bahwa Arjuna bersama empat pendaki lainnya tewas karena tersesat dan keterlambatan pencarian karena cuaca buruk.
            Dan hal-hal yang selanjutnya kulihat adalah headline news di acara berita dan koran sore : “Lima Pendaki Tewas karena Tersesat dan Cuaca Buruk”
            Seolah duniaku terhenti dan aku tidak menemukan Arjuna dimanapun, sejauh aku mengingat tentangnya. Dia pergi. Pergi di saat hari ulang tahunku.
                                                                                                                                    03:11
            “Dianna. Kau berjanji akan menceritakan tentang kekasihmu padaku. Ceritakan sekarang, aku tidak sabar mendengarnya,” Ibuku kembali menelponku.
            Aku tidak bisa mengatakan apapun. Hanya isak tangis, sedu-sedan yang terdengar. Ibuku menanyaiku dengan amat khawatir. Berkali-kali dipanggilnya namaku. “Dianna…Dianna…Ada apa?” Dan aku tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Arjuna. Aku merindukan segala hal tentangnya. Aku rindu melihatnya membenahi letak kacamatanya. Aku rindu melihat caranya memandangku. Aku rindu melihatnya berjalan menjauh sambil membawa tas punggungnya. Aku rindu melihat caranya memperbaiki tali sepatunya yang lepas.Aku rindu melihat rambutnya yang berantakan. Aku merindukannya tertawa di sampingku.


                                                                                                                                      Wonogiri-Rabu,7 Juni 2012


admin:
Masih edisi liburan, Ini adalah sebuah kisah kasih tak sampai, bahkan dalam penceritaannya pun tak perlulah menggambarkan pengungkapan cinta diluarbatasan (kalau ada yg bertanya batasannya apa? maka jwbnya adalah agama ^^) , dengan gaya penceritaan yang apik, admin bacanya sampai merasa harus tahu arti sebelas itu..

Kembali ke Pulpeners, silahkan...^^


 

 

 


 

No comments:

Post a Comment